Kamis, 22 November 2007

LAPORAN KASUS

EVENTERASIO DIAPHRAGMA PADA KEJADIAN TRAUMA

Agus Ujianto*,Sahal Fatah**

ABSTRAK

Robek dan lukanya diaphragma bisa disebabkan baik oleh luka penetrasi maupun trauma tumpul dari thorako abdominal. Trauma dari diapragma disebabkan karena tekanan intra abdominal yang tinggi pada saat terjadinya trauma tumpul. Hal ini akan menyebabkan tanda klinis yang signifiakan yang menunjukan meningkatkan tekanan antara pleura dan peritoneum.

Sekitar 80-90 % trauma diaphragma terjadi karena kecelakaan automobile .Akibat jatuh dari ketinggian adalah kasus yang jarang menimbulkan keadaan tersebut. Trauma dari samping menyebabkan 3x lebih banyak kejadian ruptur diapragma dibanding dari sisi lainya. Mekanisme tersebut menyebabkan distorsi dari dinding dada dan regangan diaphragma sisi ipsilateral.

Robeknya diaphragma biasanya terjadi pada muskulotendinous junction, terutama pada daerah posterolateral dari hemidiaphragma. 64-87% robeknya diaphragma berada pada sisi kiri karena daerah tersebut relative lebih lemah dibanding dengan sisi kanan karena disebelah kanan terdapat hati sebagai bantalan. Jika terjadi robekan sisi kanan diapraghma, biasanya akan terjadi peningkatan angka kematian dan lebih jelak.

Jika terjadi defek akibat trauma pada diaphragma akan menyebabkan kondisi kritis segera setelah trauma terutama gangguan fungsi kardiorespirasi karena desakan dan herniasi isi perut ke ruang pleura. Beberapa pasien menunjukan gejala asimtomatik atau gejala yang tidak jelas sehingga diagnosa terlambat. Tekanan negatif intratorakal selama respirasi akan menyebabkan herniasi secara gradual dari organ intra abdomen ke rongga thorak dan memperlebar defek yang ada. Pasien beresiko terhadap strangulasi dan obstruksi gastrointestinal dan gangguan nafas lebih lanjut jika tidak dilakukan repair diaphragma secepatnya. Trauma tembus pada diaphragma biasanya menyebabkan luka yang kecil dan tidak menyebabkan herniasi terutama pada pemerikasaan awal.

Penyebab terbanyak dari paralysis diaphragma adalah trauma kelahiran atau komplikasi post operasi kardiovaskuler. Infeksi dan tumor sedikit menyebabkan paralysis diaphragma. Eventrasi Diaphragma secara berlawanan menyebabkan kelemahan dan hilangnya kekuatan dari serabut otot . Eventrasio biasanya disebabkan karena kerusakan nervus phrenicus. Kejadian ini juga akan meningkatkan elevasi dari kubah diaphragma dan tekanan intra abdomen akan mendorong paru-paru keatas.

Kami melaporkan kasus seorang laki-laki 37 th, yang mengalami kecelakaan jatuh dari ketinggian 8 meter dan mengalami eventerasio diaphragma sisi kiri yang masih mungkin karena kelainan kongenital dan dilakukan tatalaksana konservatif selama 5 hari. Dilaporkan tatalaksana dan monitoring selama perawatan dan pasien pulang dengan kondisi baik.

Kata Kunci : diaphragma, eventarasio, evnterasio diaphragma, trauma diaphragma

PENDAHULUAN

Angka kejadian eventrasio diaphragma dilaporkan sangat jarang sekitar 1 dalam 10.000 angka kelahiran hidup. Eventrasio diaphragma merupakan elevasi abnormal dari satu sisi atau kedua sisi diaphragma yang disebabkan oleh paralysis dari otot-otot diaphragma. Kelainan ini dibedakan dengan hernia diaphragmatika. Urschel et all ( 1989) menyatakan hal ini merupakan kejadian yang jarang dia menyebutkan 0,001 s.d 0,003 % dari angka kelahiran hidup. Eventrasi diaphragma bisa disebabkan oleh karena kelainan congenital bisa karena muscular hypoplasia atau muscular aplasia. Termasuk didalamnya adalah trauma dari nervus phranicus saat persalinan, trauma saat operasi , fibrosis maupun peradangan serta keganasan.

Pada kejadia trauma, luka pada diaphragma juga jarang sekali terjad baik karena trauma tumpul maupun trauma tembus. Diagnose dan therapy sesuai dengan mekanisme dan penemuan yang ditemukan saat pemeriksaan. Luka pada diapraghma didefinisikan pertama kali oleh Senertus pada tahun 1541. Sedang operasi diaphragma dilakukan pertama kali oleh Riolfi pada tahun 1886.

80 sampai 90 % dari ruptur diaphragma disebabkan setelah kecelakaan kendaraan bermotor. Jatuh dan kejadian trauma lainnya dinyatakan jarang menyebabkan kejadian ruptur diaphragma. Mekanisme dari rupture diapragma tergantung dari mekanisme dan besaranya tekanan antara diapragma dan rongga perut. Benturan dari sisi samping dinding dada dilaporkan lebih sering 3 kali lipat dibanding benturan dari sisi yang lain. Karena benturan tersebut menyebabkan distorsi dari dinding dada menyebabkan terlepasnya sisi ipsilateral dari diaphragma. Benturan dari depan dapat meningkatkan tekanan intra abdomen dan menyebabkan diapraghma robek lebih luas pada posterolateral diapragma, karena merupakan tempat terlemah dari diapraghma secara embriologis.

Kejadian rupture diaphragma lebih banyak pada sisi kiri dibanding sisi kanan disebabkan oleh beberapa kemungkinan antara lain, karena sisi kanan terdapat organ hati yang meredam tekanan ( 20 -30% ) dan kejadian bilateral sekitaar 5- 10 %. Diluar negeri disebutkan juga “injury sustain” dari sisi kiri lebih banyak karena setir kendaraan diluar negeri berada disebelah kiri sehingga trauma banyak terjadi pada sisi dada kiri sedang penumpang biasanya terkena trauma pada sisi kanan.

LATAR BELAKANG

Diaphragma merupakan otot pernafasan utama dan merupakan otot terpenting kedua setelah otot jantung. Jika terjadi gangguan dari otot ini, maka respirasi jelas terganggu, gangguan tubuh akan terjadi akibat kompensasi gangguan pernafasan karena kelainan pada diaphragma. Untuk mempermudah kelainan diaphragma maka pengertian dari anatomy dan neurology diperlukan. Gangguan saraf yang berhubungan dengan diaphragma bisa disebabkan karena trauma maupun proses penyakit yang menurunkan impulse saraf dari dan ke otak. Secara anatomy, gangguan terhadap otot diaphragma menyebabkan penurunan fungsi pernafasan. Keduanya mempengaruhi proses nafas yang menyebabkan terjadinya hypoxia organ dalam waktu cepat atau lambat.

Anatomy diaphragma

Diapragma berupa kubah otot yang terdiri dari jaringan fibromuskuler yang menyekat thorak dan abdomen. 4 komponen embriologi menyusun organ ini yaitu : septum tranversum, 2 lipatan pleuroperitoneal, myotom cervical dan mesenterium bagian dorsal. Diapragma mulai terbentuk mulai minggu ketiga dari masa gestasi dan lengkap setelah delapan minggu. Kesalahan pembentukan dari lipatan pleuraperitoneal dan keterlambatan migrasi dari otot menyebabkan kelainan congenital.

Otot diaphragma terbentang dari iga ke-6 pada kanan kiri, menuju sisi posterior dari procesus xipoideus, dan melekat pada external serta internal ligamentum arkuata. Beberapa organ melalui diapragma yaitu aorta, oesophagus, dan vena cava. Aperture aorta merupakan tempat paling bawah dan paling belakang pada diapragma yang terletak setinggi vertebra thorakal 12. Pada tempat ini juga terdapat duktus thoracicus dan kadang vena azygos dan hemiazygos. Aperture oesophagus dikelilingi oleh otot diaphragma dan terletak setinggi Vertebra thorakal 10. Aperture vena cava merupakan tempat tertinggi pada diaphragma yang terletak setinggi vertebra thoracal 9.

Diaphragma didarahi oleh arteri phrenicus kanan dan kiri, arteri interkosta, dan arteri musculophrenicus cabang dari arteri thorakalis interna. Arteri pericardiophrenicus kecil-kecil yang berjalan bersama nervus phrenicus juga mendarahi diaphragma.

Drainase darah dari diaphragma dilewatkan melalui vena cava inferior dan vena azygos pada sisi kanan dan vena adrenal/renal serta vena hemiazygos pada sisis kiri.

Diaphragma menerima impulse dari nervus phrenicus, yang merupakan cabang dari nervus yang keluar dari cervical IV dan sebagian cabang dari vertebra cervical 3 maupun 5. Nervus ini keluar persis dibelakang musculus scalenus anterior dan menuju ke diaphragma. Panjangnya alur yang dilewati oleh nervus ini menyebabkan berbagai proses yang terjadi pada tempat perjalanannya menyebabkan gangguan pada nervus ini.

Dari hal tersebut diatas, jelas gangguan terhadap nervus phrenicus dan gangguan terhadap anatomy diaphragma akibat apapun akan menyebabkan gangguan terhadap proses respirasi dan ventilasi.

Gangguan diaphragma bisa terjadi karena gangguan anatomi dan saraf :

1. Defek anatomi :

a. Congenital defect :

i. Bochdalek hernia

ii. Morgagni hernia

iii. Eventrasio diaphragma

iv. Agenesis diaphragma

b. Acquired defect :

i. Rupture karena trauma

ii. Trauma tembus/ tusuk

iii. Idiophatic

iv. Iatrogenic ( karena operasi invasive)

2. Defek innervasi

a. Stroke

b. Kelainan vertebra cervical :

i. Trauma medulla spinalis cervical

ii. Syringomyelia

iii. Poliomyelitis

iv. Motor neuron disease

c. Neuropathy saraf phrenicus :

i. Trauma saat operasi

ii. Radiasi

iii. Tumor

iv. Guillain Bare Syndrome

v. Brachial plexus neuritis

vi. Diabetes mellitus

vii. Malnutrisi

viii. Infeksi yang menyebabkan kerusakan saraf( diphtheria, tetanus, typhoid, measles, botulism)

ix. Myasthenia gravis

x. Gangguan otot ( myotonic dystrophies, Duchenne muscular )

KASUS

Laki-laki 56 tahun dengan estimasi berat badan 50 kg , datang ke IRDA Bedah RSDK dengan keluhan semutan seluruh anggota badan dan nyeri hebat pada sisi badan kiri terutama lengan dan paha kiri. Setengah jam sebelum datang ke IRDA bedah penderita terjatuh dari ketinggian 10 meter saat sedang memperbaiki atap dan terpeleset hingga jatuh dengan tumpuan tubuh sebelah kiri. Menurut penolong, paramedis dipabrik menyebutkan bahwa pasien seorang pekerja maintenance pabrik, ia menggunakan pakaian lengkap saat bekerja, memakai baju pekerja dan berhelm.

Penderita mengeluh sesak dan nyeri terutama pada dada sebelah kiri lengan dan selakangan , dan menyangkal nyeri perut. Tidak muntah maupun mual. Kesadaran pasien saat kedatangan gelisah dengan skala Glasgow E4M6V4=14 , tanda vital dalam batas normal.

Pada kepala didapatkan luka lecet pada pipi kiri,hematom pada occipital kiri ,pupil isocor. Deformitas tidak ditemukan. Leher penderita didapatkan memar pada sisi kiri, namun tidak nyeri. Kami lihat pergeseran trachea kearah kanan. Secara simultan kami pasang oksigen 10 liter sungkup dan cervical collar.

Pemeriksaan dada kami lihat hemithorak kiri tertinggal dari yang kanan. Dengan stem framitus kesan sama antara kanan dan kiri namun terdapat peningkatan pada ics VI kebawah pada hemitorax kiri. Pada perkusi kami dapatkan pekak mulai ics VI kebawah pada hemithorak kiri. Dan pada auscultasi kami dapatkan bising usus dan peristaltik pada hemithorak kiri setinggi ics VI kebawah. Kami mencurigai adanya ruptur diaphragma sisi kiri. Maka kami lakukan pemasangan NGT keluar jernih dengan sisa makanan, secara simultan berikut pemasangan infus dan kateter urin.

Pada perut tidak kami temukan jejas pada semua lapangan. Tidak didaptkan nyeri tekan dan bising usus normal. Penderita mengeluh nyeri pada daerah pubis. Ano perineal dan genitalia tidak didapatkan kelainan. Urin terlihat jernih dengan produksi 60 cc / jam.

Pada pemeriksaan extremitas, kami dapatkan kelainan pada daerah siku kiri, didapatkan luka lecet dan hematom pada siku dan proximal antebrachii kiri. Penderita mengeluh nyeri jika ditekan dan kami dapatkan krepitasi pada daerah olecranon. Gerakan sendi siku terbatas dan nyeri gerak aktif maupun pasif. Kami anggap adanya fraktur pada proximal antebrachii dan kami lakukan imobilisasi dengan spalk.

Penderita merasa nyeri jika disuruh mengangkat tungkai bawah kirinya. Namun tidak nyeri jika mengangkat tungkai kanan. Namun penderita mengeluh lemes jika untuk mengangkat kedua tungkainya. Kami nilai motorik 4/4/4 pada kedua tungkai dengan penurunan sensibilitas setinggi umbilicus kebawah pada kedua tungkai. Kami periksa pelvis kesan stabil, namun penderita mengeluh nyeri jika dipegang daerah selakangan.

Pada rectal tussae didapatkan kesan normal tanpa didapat kelainan, nyeri dinyatakan pasien jika kami tekan pada sisi kiri. Prostat dalam batas normal. BCR (+) ,Sarung tangan hanya tersisa feses tanpa darah.

Pada exposure dan log roll, tidak kami dapatkan jejas dan deformitas pada tulang belakang.

Dari pemeriksaan fisik kami diagnosa klinik sebagai pasien : CKR dengan GCS 14, Fr olecranon ulna tertutup NK, Fr simpisis sinistra tertutup NK, curiga rupture diapragma, curiga fraktur vertebrae thoracal XI-XII frankle B.

Karena kejadian trauma, maka standar penatalaksanaan ATLS diterapkan pada pasien ini. Setelah Primary survey dan secondary survey penderita dianggap stabil, kemudian dilakukan pemeriksaan radiologis meliputi foto cervical ap/lat, foto thorax ap/lat , thoraco lumbal AP/Lat, pelvis AP/oblique, antebrachii sinistra AP/Lat dan CT Scan cranio cerebral.

Sampel darah diambil secara lengkap meliputi darah rutin, urin rutin, ureum, creatinin, elektrolit, gula darah juga termasuk analisa gas darah. Elektrocardiogram juga kami rekam.

Hasil Pemeriksaan penunjang

Pada CT scan tidak didapat kelainan intra cerebral dan kami analisa sebagai Diffuse axonal Injury grade I, dan pada thoracolumbal tidak di dapatkan kelainan radiologis.

Kelainan radiologis didapatkan pada foto thorax, dimana didapatkan kenaikan kubah diafragma sisi kiri, dengan gambaran lambung berada pada hemithorak sisi kiri tampak NGT pada lambung terpasang baik. Gambaran pembuluh darah sampai keperifer kedua paru namun pada hemithorak kiri hanya sampai ICS VI.

Pada foto antebrachii tampak diskontinuitas dari olekranon ulna dengan garis fraktur tranverse, tampak displacement, tanpa adanya angulasi. Sendi terlihat baik.

Pada foto pelvis didapatkan diskontinuitas dari os pubis ramus superior et inferior, dengan garis fraktur tranverse, dengan displacement tanpa kontraktur.

Kelainan pada foto pelvis dan antebrachii tidak kami bahas pada kasus ini lebih lanjut karena setelah kami lakukan imobilisasi pasien dengan hemodinamik stabil dianggap telah tegak diagnose dan manajemen lanjutnya, demikian juga dengan CT Scan , foto cervical dan rontgen thoraco lumbal kami anggap tanpa kelainan.

Dari hasil analisa darah dan gas darah keduanya menunjukan kadar normal dengan saturasi 100 %.

Dari electrocardiogram didapatkan sinus takikardia.

Dari hasil foto thorak, menyebabkan kami gamang terhadap penentuan diagnosa karena kelainan yang ditemukan pada hemithorak kiri antara hernia diaphragma atau eventerasio diaphragma. Maka konsultasi dari berbagai disiplin kami lakukan yang melibatkan sub bagian bedah digestive, sub bagian bedah thorax dan bagian radiologi.

Dari hasil analisa darah dan gas darah keduanya menunjukan kadar normal dengan saturasi 100 %.

Hasil diskusi dari ketiga bagian tersebut akhirnya mengusulkan suatu pemeriksaan fluoroscopy dan dari hasil fluoroskopi didapatkan gambaran gerakan diapragma yang stabil saat inspirasi dan expirasi tanpa perubahan gaster dari defek yang terlihat.

Dari kondisi tersebut ditegakkan suatu diagnose, suatu penemuan incidental pada kejadian trauma suatu eventrasio diaphragma sinistra yang mungkin suatu proses lama akibat proses infeksi pada pasien tersebut dimasa lampau atau suatu kelainan congenital.

Kemudian dengan cara konservatif, pasien kami pulangkan setelah 1 minggu perawatan dengan lengan di gips dan pemasangan corset, karena penderita menolak orif. Selama pengawasan tanda vital penderita tidak pernah mengeluh sesak nafas dengan laju nafas penderita selalu normal berkisar 16 x sd 20 x per menit.

DISKUSI KASUS

Kejadian trauma yang dialami penderita dengan temuan kelainan diapragma menyebabkan kasus ini menarik karena menjadi kejadian kebetulan bahkan seperti kemustahilan karena dilihat dari mekanisme of injury sustain-nya mengarah suatu kondisi yang menyebabkan ruptur diaphragma dan diikuti hernia diaphragma.

Di amerikas serikat kejadian dari trauma diaphragma pda kejadian trauma tumpul jarang sekali terjadi, pada statistic dikatakan kurang dari 5% dari semua kejadian trauma tumpul thorak. Angka kejadian hidup penderita ini tergantung dari prehospital care, triase dari trauma senter, maupun penatalaksanaan segera.

Pasien dengan ruptur diapragma akan bisa mengeluh sesak pada saat itu, mengeluh sesak secara bertahap dengan progressive, maupun sesak secara perlahan-lahan secara beberapa hari. Penemuan klinik sangat bervariasi tergantung dari mekanisme dari trauma (tembus atau tumpul), kekuatan yang menghantam maupun kecepatanya. Diaphragma adalah organ yang berhubungan dengan ventilasi secara normal, sehingga jika terjadi trauma pada bagian ini bisa menjadikan gangguan respirasi da menyebabkan gangguan paru yang menunjukan suatu kelainan pada diaphragma.

Robeknya diaphragma biasanya terisolasi dan pasien biasanya juga mengalami trauma abdomen maupun trauma thorak, juga trauma kepala maupun trauma extremitas. Trauma diapraghma dilaporkan bersamaan dengan trauma lain meliputi : fraktur pelvis ( 40%), rupture limpa ( 25%), laserasi hepar ( 25% ) dan ruptur aorta thorak ( 5 – 10 %).

Pemeriksaan fisik pada kejadian trauma diaphragma harus difokuskan pada airway, breathing dan ventilasi serta sirkulasi dengan diikuti manajement pada ketiga pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan leher dan dada harus dilihat dengan cermat terutama adakah deviasi trachea akibat pergeseran mediastinum, simetrisitas dada, dan hilangnya suara nafas karena kelainan paru.

Diagnosa dari trauma atau ruptur diapragma dibedakan menjadi : early diagnosis dan delayed diagnosis.

1. Early diagnosis :

· Diagnosa bisa saja meragukan / tidak jelas. Pada 10 – 50 % pasien didiagnosis setelah 24 jam pertama evaluasi.

· Trauma diaphragma hanya merupakan salah satu dari beberapa trauma yang menyebabkan gangguan pernafasan akut

· Pemeriksaan fisik sangat sulit, namun ditemukannya suara usus pada dada atau pekak pada perkusi bisa membantu.

2. Delayed diagnosis :

· Jika tidak terdiagnosa dalam 4 jam pertama kedatangan, diagnose trauma diaphragma baru ditegakkan setelah sebulan atau bahkan tahunan. Kondisi ini terjadi jika luka yang ada pada diaphragma awalnya kecil atau parsial kemudian berangsur-angsur membesar sehingga menimbulkan gejala.

Beberapa literatur menyebutkan ada 3 fase dari trauma diaphrgma yang dijelaskan oleh Grimes:

a. Fase awal atau akut , ialah fase yang bersamaan dengan kejadian trauma

b. Kedua, jika tak terdiagnosa awal. Fase ini asimptomatik tetapi bisa secara bertahap terjadi herniasi dari isi rongga perut. Diagnose ditegakan setelah terjadi komplikasi akibat masuknya usus ke rongga pleura.

c. Ketiga, adalah fase obstruksi dimana usus dan visceranya mengalami herniasi ke rongga pleura, kemudian mengalami obstuksi dan inkarserasi bahkan strangulasi sehingga memungkinkan kebocoran usus sehingga mengisi rongga pleura dan menjadikan tension pneumothorak . karidiak tamponade jika isi rongga perut masuk dan menekan pericardium. Paralysa dari diaphragma biasanya juga terjadi pada fase ini.

Jika terjadi ruptur diaphragma, maka reparasi dengan operasi mungkin diperlukan, walaupun lukanya sangat kecil. Sebab defect kadang tidak terjadi secara spontan. Operasi bisa dilakukan melalui transabdominal maupun trans thoracal. Sebagian ahli berpendapat laparatomy lebih baik karena bisa mengeksplorasi apakah ada kelainan lain akibat trauma. Namun thorakotomi biasanya lebih sering karena akses diaphragma lebih mudah dan bersih terutama jika ruptur diaphragma terjadi pada sisi kanan.

Sebagaimana tersebut, eventerasio diaphragma terjadi biasanya karena sebab congenital. Ada dua type malformasi pada proses embryologi yang menyebabkan eventrasi diaphragma adalah kegagalan myoblas yang bermigrasi diantara 2 lipatan pleuroperitoneal membrane dan tidak adanya inervasi dari myoblas. Jadi eventrasi terjadi karena non muskulus atau non innervasi.

Gangguan klinik dari eventerasio diaphragma bisa berbagai macam dari tanpa gangguan sampai gangguan berat sampai kematian. Asymptomatic pasien biasanya dilakukan secara konservatif, terutama pada pasien dewasa. Akan tetapi beberapa literature menyebutkan bahwa kelainan ini tetap harus dioperasi melalui thoracotomy dengan cara melipat sisi diaphragma yang eventrasi sampai posisi midexpirasi. Jika memungkinkan penjahitan secara interrupted dengan menggunakan benang non absorbable. Cara lain adalah dengan cara eksisi bagian yang berlebihan dan kemudian dijahit.kimura et al (1991) menggunakan mesh decron untuk melapisi defect yang tipis setelah diplikasi.

KESIMPULAN

Dari kasus diatas, pemeriksaan klinis dan keadaan pasien sangat menentukan tindakan kejadian pada trauma thorak. Pemilihan tindakan memerlukan evaluasi dan monitoring yang ketat dan pengetahuan anatomi diaphragma. Eventerasio diaphragma dan trauma diaphragma merupakan kejadian yang jarang terjadi, apalagi jika keduanya dialami oleh pasien yang sama pada kejadian yang bersamaan.

Laporan kasus ini merupakan temuan incidental dan kebetulan, namun bisa dijadikan penelitian lebih lanjut ditinjau dari angka kejadian trauma maupun data kejadian congenital yang ada di Indonesia.

Lampiran : Gambar pasien dan pemeriksaan radiologi

pagi (2) pagi (26) pagi (3)

pagi (13) pagi (15) pagi (17) pagi (12) pagi (11) siang (14)

Bedah Ria


Adalah... Sebuah Blog yg tidak ikut non blok... didalamnya banyak tulisan yg asik